RISA ADRIANA. Anak kedua dari pasangan Bapak Indra Adrian dan Ibu Fatma Irina ini akhirnya bisa menimba ilmu lanjutan di bangku kuliah di kota pilihannya. Kendati harus berpisah dari keluarga yang tinggal di kota Bogor, perempuan ini sudah memantapkan diri untuk hidup mandiri. Dia paham, hidup di kota besar pasti terasa berbeda dan lebih berat ketimbang saat dia masih tinggal dengan kedua orang tuanya. Apalagi dia harus mawas diri terhadap pergaulan yang mungkin bisa menjerumuskannya. Maka dari itu di hari pertama Risa menginjakan kakinya di kota, dia berusaha untuk mencari rumah kontrakan yang lingkungannya aman dan mencari teman yang bisa diandalkan.
Hari pertama di kampus, dia sudah mendapatkan teman yang menurutnya baik dan cocok dengan sifatnya. Pertemuan itu bermula saat Risa mengikuti Orientasi Mahasiswa yang mengharuskan mahasiswa baru untuk hadir di aula kampus tepat pukul 5 subuh hingga pukul 6 sore diisi kegiatan yang diadakan oleh kakak angkatan.
Pukul 4 dini hari, Risa sudah mempersiapkan segala sesuatu yang dia perlukan untuk mengikuti Orientasi Mahasiswa, mulai dari atribut seragam sekolahnya dulu hingga barang-barang yang diharuskan di bawa sesuai dengan daftar yang diberikan oleh seniornya itu.
“Tas karton pink, kaos kaki panjang pink, name tag, topi bola pink, coklat orang mati, stik panjang yang bisa dimakan, air berbuih. Hhmm.. apa lagi yah? Kayaknya udah semua deh.”
Risa mengecek lagi atribut bawaannya yang kebanyakan semuanya berwarna merah muda itu. Memang, jurusannya itu identik dengan warna pink jadi semua barang yang dibawa harus berwarna pink. Bagaimanapun caranya. Akhirnya Risa berinisiatif membuat semuanya mulai dari tas karton berwarna pink, name tag dari karton warna pink dan topi bola yang di cat warna pink. Selama aktivitas kampus itu, para senior memberikan tugas untuk mengumpulkan barang-barang yang harus dibawa setiap harinya berbeda. Seperti hari ini dia harus membawa coklat orang mati, stik panjang yang bisa dimakan dan air berbuih. Tidak mudah kalau tidak mengerti apa maksudnya, tetapi untung saja Risa bukan orang yang pemalu untuk bertanya pada salah satu teman seperjuangannya sewaktu mendapatkan kertas daftar bawaan saat melakukan pendaftaran terakhir.
Pukul 04.35 pagi, Risa langsung bersiap berangkat ke kampus. Kontrakannya yang terletak di belakang pusat perbelanjaan, jadi waktu yang dibutuhkan untuk menuju kampus setidaknya 5 menit berjalan kaki. Sesampai di kampus, dia sudah disambut dengan beberapa senior yang mengatur barisan mahasiswa baru. Mereka dibagi per kelompok sesuai nama yang dipanggil. Risa menanti namanya dipanggil dan berharap agar teman-teman sekelompoknya bisa akrab dengannya, mengingat sifatnya yang canggung itu. Tiba saat Namanya dipanggil, Risa bergabung dengan kelompok paling pojok.
“Eh, kamu yang kemarin di ruangan admin itu yah?” tanya salah satu teman segrupnya.
“Ah iya, halo.” Jawab Risa
“Hi, aku Pai. Pai Setiawan, kamu?” tanya gadis berwajah oriental itu sambil menjulurkan tangannya.
“Aku Risa Adriana. Salam kenal” jawabnya sambil tersenyum.
Siapa sangka dari perkenalan singkat itu bisa bertahan hingga empat tahun lamanya. Dan tidak berapa lama dia dan Pai juga menemukan dua sahabat lain yang selalu ada saat dibutuhkan. Ina dan Herman. Dari segi sifat dan kebiasaan, mereka semua bertolak belakang. Risa yang rajin dan sensitif, Pai yang urak-urakan tetapi peduli dengan teman-temannya, Ina yang glamor tetapi tahu kapan dia harus tunduk dan Herman yang selalu menjadi penengah saat mereka bertengkar dan menjadi pelindung mereka. Tidak jarang mereka bertengkar atau sekedar adu argumen, tetapi sahabat sejati itu adalah teman yang berani menyuarakan pendapat atau penolakannya pada sesuatu tanpa takut kehilangan satu sama lain karena percaya akan ikatan persahabatannya.
★★★
Seperti biasa hari ini Risa harus datang ke kampus untuk menemui dosennya untuk konsultasi tentang materi skripsi. Teman-temannya yang lain masih sibuk mengambil mata kuliah yang tersisa sedangkan dia untungnya bisa cepat menyelesaikannya dan akhirnya di tahap skripsi bab awal.
“Tuh kan gue bilang apa, pasti angker itu apartemen!” teriak Ina. Sekarang mereka berempat sedang berada di kantin kampus sebelum teman-temannya masuk kelas.
“Yakali Na, masa iya baru sehari gue disana udah digangguin. Mungkin tetangga kali.” Sanggah Pai.
“Mungkin sih” ucap Herman.
Risa sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga tidak terlalu memperhatikan lagi apa yang sedang teman-temannya bicarakan. Ada perasaan yang mengganggunya sejak tadi semenjak dia tiba di kampus, tetapi dia tidak tahu perasaan apa itu. Hanya perasaan tidak nyaman. Tetapi dia berusaha tepis, dia harus fokus karena sebentar lagi dia harus menghadap dosen pembimbing. Tetapi selama di ruang dosen pun dia tetap merasakan perasaan itu, seolah-olah sedang ada yang mengintainya, mengikuti kemanapun dia pergi.
Hari mulai senja dan Risa bergabung dengan teman-temannya di area red floor, sekedar untuk menambah stok film yang akan ditontonnya sepulang dari kampus. Perasaan was-was itu semakin menjadi-jadi saja. Seluruh badan Risa terasa berat dan sakit, ‘mungkin aku memang sedang gak enak badan aja’ begitu menurutnya.
“Bentar, nih ada lagi yang lebih serem. Lo tau, banyak banget kejadian di tempat itu?” kata Ina, “Banyak kejadian misterius disana, kaya dulu waktu pembangunan ada cerita katanya dua orang pekerja meninggal di lokasi gara-gara jatuh dan masuk ke tempat cor semennya, terus katanya beberapa tahun sesudahnya ada yang meninggal di sana gara-gara bunuh diri. And guess what, where they found the body? Di bangunan sayap timur, di gedung keenam. Lantai lo tinggal. Tapi mereka gak nyebutin nomer kamarnya sih.” Samar-samar dia mendengarkan lagi argumen dari kedua temannya itu.
“Masa sih? Cuman kebetulan aja kali.” sanggah Pai.
“Tau ah, lo mah dibilangin tetep aja ngeyel. Awas aja kenapa-kenapa jangan telpon gue.”
Risa melihat ke arah taman disamping area tempat mereka duduk, dia melihat bayang yang seolah-oleh menyuruhnya mendekat. Dia tampak ragu dengan apa yang dilihatnya, dia yakin sosok itu tidak pernah dia lihat sebelumnya di wilayah kampus. ‘Siapa dia?’ ucap Risa dalam hati. Perlahan sosok itu berjalan mendekat, sosok tersebut memberikan perasaan dingin hanya dengan tatapan matanya. Tanpa alas kaki, pakaian putih yang sudah pudar dengan bercak coklat di kainnya, rambut panjang hingga pinggul dan juga raut wajah yang entah kenapa terlihat sendu.
Semakin dia mendekat, semakin perasaan berat terasa di pundak dan kepala Risa. Seolah terhipnotis oleh sosok tersebut, Risa tenggelam dalam tatapan mata merah itu dan pikirannya perlahan memudar.
★★★
PAI's POV
Entah kenapa wajah Risa sedikit lebih pucat dari biasanya dan sikapnya tidak seperti biasa. Dari tadi sewaktu aku dan Ina mengobrol, Risa hanya merespon dengan tatapan atau hanya anggukan kecil saja. Apa dia sakit? Tetapi aku tidak terlalu memperhatikannya karena perhatianku terfokus pada informasi tentang tempat aku tinggal yang diduga angker.
Tiba-tiba hawa dingin yang sejak tadi aku rasakan semakin tidak enak saja, ranting-ranting pohon bergerak padahal angin tidak terlalu kencang hingga bisa menggoyangkan ranting pohon itu. Perasaanku juga mulai terasa was-was, seolah-olah ada yang sesuatu yang mengganggu tetapi aku tidak bisa meraba apa yang sedang aku takutkan.
“Hey Sa, lo gapapa?” tanya Herman lagi tetapi hanya dibalas dengan gumaman tidak jelas dari mulut Risa.
Entah kenapa setelah aku amati wajah pucat Risa, aku seperti tidak mengenal raut muka yang sekarang ada di wajahnya. Tidak ada ‘ekspresi’ Risa yang aku kenal, seperti sosok didepanku ini terasa asing. Aku hanya memandang wajahnya saja tanpa berani untuk menyentuhnya sedangkan Ina dan Herman sudah merasa khawatir akan keadaan diam Risa.
Tidak berapa lama, aku mendengar sayup-sayup suara gumaman berupa nyanyian yang tidak jelas dari mulut Risa. Sontak aku langsung melihat wajahnya yang dari tadi menunduk, membiarkan rambut panjangnya terurai dan menutupi wajahnya. Ina berusaha menyentuh bahunya, tetapi Risa sedikit menghindar seolah-olah tidak ingin diganggu. Aku beranikan diri untuk membenarkan tatanan poni rambutnya agar wajahnya terlihat jelas.
Tetapi yang membuatku kaget adalah tatapan matanya yang langsung mendelik ke arahku saat aku menyelipkan rambut di daun telinganya. Tatapan tajam matanya membuat kudukku merinding, mengingatkanku pada sosok psikopat yang sering aku tonton. “Sa, lo gapapa?” tanyaku.
Risa tidak menjawab sedikitpun pertanyaan kami, dan hanya tertawa pelan sambil masih menundukkan kepalanya. Kami panik saat itu, takut kalau terjadi apa-apa pada Risa. Tiba-tiba tawanya semakin keras dan tak terkendali, beberapa orang yang sedang berada dekat dengan kami pun mulai memperhatikan, kami semakin menjadi panik dan tidak tahu harus bagaimana lagi.
Tiba-tiba Risa memandangku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan, matanya melotot kearahku sambil memegang lenganku dengan erat, “Ulah balik kaditu deui!” Dengan mata yang seperti ketakutan dia terus berbicara seolah-olah memperingatkanku akan sesuatu.
Seketika suasana mulai diluar kendali, beberapa teman-teman kampusku berusaha menahan Risa yang terus sama menarik lenganku, bahkan bisa kurasakan cengkraman kukunya melukai kulitku. Aku tidak sempat lagi mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Herman dan yang lainnya berusaha untuk menahan tubuh Risa yang sekarang dipegang oleh empat orang. Padahal dari postur Risa yang bertubuh kecil, ditahan oleh empat orang itu terlalu berlebihan.
“Ulah balik ka tempat eta deui lamun mbung paeh!” Aneh, itu bukan suara Risa, pikirku. Aku bisa melihat wajah Ina yang ketakutan mendengar apa yang dikatakan Risa, sedangkan wajah Herman menegang. Beberapa dari teman-temanku yang ikut membantu pun saling melempar pandangan karena ucapan Risa yang tiba-tiba itu.
“Assalamu’alaikum, nami abdi Kamil, nami didinya saha? Naon maksud didinya tadi? Ulah balik ka mana?” Kamil, salah satu teman skate Herman bertanya pada Risa yang dalam keadaan ditahan oleh teman-teman di lantai.
“Teu penting saha urang. Urang ngan ngingetan hungkul, maneh -menunjuk ke arahku- tong balik deui ka tempat eta. Nyaah ka nyawa maneh.” Jawab sosok didalam tubuh Risa.
Aku memang tidak terlalu percaya dengan hal gaib dan sebagainya, tetapi melihat gelagat Risa yang tidak biasa apalagi matanya. Ada sesuatu yang tidak beres, instingku terganggu saat melihat matanya yang lebih didominasi warna hitam dengan warna putih di tengah pupilnya. Itu bukan warna mata biasa, terasa lebih mengerikan. Apalagi dia -yang aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang merasuki Risa, sedang memperingatkanku. Aku berusaha mencerna apa yang dia coba sampaikan. ‘Tempat apa?’, ‘Kenapa aku yang diperingatkan?’, ‘Apa sebenarnya tujuannya merasuki Risa hanya untuk memperingatkanku?’. Begitu banyak pertanyaan yang muncul tetapi ku tepis, mengingat keadaan Risa yang harus lebih dulu dibereskan.
“Lamun urusan didinya ngan saukur ngingetan hungkul, mereun ayeuna didinya geus tiasa indit ti awak ieu. Sing karunya ka awak nu didinya tunggangan.” Kamil mencoba untuk membujuk agar siapapun -atau apapun dia bisa keluar dari tubuh Risa.
“Ayeuna urang indit, ngan urang bakal datang deui lamun misalkan maneh teu ngadengekeun omongan urang.” Masih melihat dan menunjuk ke arahku, perlahan mata Risa meredup hingga akhirnya dia jatuh terkulai diantara anak-anak yang memeganginya.
Comments (0)
See all