Setelah berapa lama, akhirnya Risa tersadar dari pingsannya dan langsung diantar pulang oleh Herman ke kontrakannya. Sedangkan Pai dan Ina langsung pulang dengan masih memikirkan beberapa kemungkinan penyebab kejadian Risa kesurupan tadi.
Pai sekarang berada di elevator apartemennya, masih tenggelam dalam pemikirannya bahwa yang terjadi hari ini hanyalah kebetulan semata dan apa yang tadi dikatakan oleh siapapun sosok yang merasuki Risa. Tetapi, dia tidak bisa menyingkirkan perasaan was-was dan tidak enak saat kedua mata mereka bertatapan. Ada sesuatu yang mengganggunya setelah mendengar peringatan sosok itu tentang tempat tinggalnya, ‘ada apa dengan apartemen ini?’ gumam Pai sambil berjalan ke arah kamarnya.
Setelah seharian dirundung banyak pikiran, akhirnya Pai memutuskan untuk tidur lebih awal dari biasanya. Dia berharap agar apapun yang terjadi hari ini tidak akan dia pikirkan lagi pada esok hari.
★★★
Pai terbangun dari tidurnya karena ada suara berisik yang mengganggu mimpinya. Dia menoleh ke arah jam weker yang berada di atas nakas samping kasur, pukul 02.30 pagi.
“Ugh, berisik banget sih!” rutuk Pai.
Terdiam beberapa saat sambil mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi, Pai merasa ada sedikit yang aneh. Seolah-seolah suara berisik itu bukan berasal dari tetangganya tetapi seperti ada orang-orang yang ngobrol di dalam apartemen. Di dalam apartemennya. Dan samar-samar dia mendengar suara hentakan kaki yang berasal dari ruang tengah. Pai mendengar suara wanita dan pria berdebat, walaupun suaranya samar, tetapi masih terdengar jelas hingga ke dalam kamar.
Rasa penasaran pun membawanya keluar kamar untuk memastikan pendengarannya tidak salah. Saat mencapai ruang tengahnya, dia melihat dua sosok hitam yang sedang berdiri. Sosok yang berpostur wanita itu membelakangi Pai, terlihat sedang memohon kepada sosok pria di depannya. Terdengar tidak jelas apa yang mereka debatkan karena Pai masih terlalu shock menemukan ada orang lain masuk ke dalam apartemennya.
Pai terdiam, tidak bisa bergerak hingga sosok pria berhenti memandang wanita tersebut dan memandang lurus ke arahnya. Tatapan mata pria itu membuat Pai ketakutan, seolah nyawanya sedang terancam. Tidak berapa lama sosok wanita tersebut juga berhenti berbicara- memohon lebih tepatnya, dan membalikkan badannya menghadap Pai.
Seketika Pai ingin sekali berteriak tetapi suaranya seolah dipaksa hilang, lututnya lemas hingga terasa tidak mampu menopang kedua kakinya. Wajah wanita itu mengerikan! Tadi Pai berpikir wanita itu sedang memohon, sekarang dia melihat mulut wanita tersebut dijahit penuh! Sebelah matanya tercongkel dan hampir keluar sedangkan satu matanya lagi mengeluarkan darah.
Pai menangis ketakutan. Hingga akhirnya dia tidak sadarkan diri karena tidak mampu mencerna ketakutan apa yang dia lihat.
★★★
“Non Riana, sarapannya sudah bibi siapkan ya.” Terdengar sapaan dari Bi Darma yang sudah bekerja belasan tahun untuk keluarganya itu.
“Iya bi, sebentar lagi Ana turun kebawah.” Sahut Riana atau lebih dikenal Ina oleh teman-temannya.
Bi Darma mungkin bukan hanya seorang asisten rumah tangga di mata Ina, beliau sudah dianggapnya pengganti kedua orang tuanya yang jarang berada di rumah. Karena urusan bisnis mereka tidak jarang harus tinggal di luar negeri dan meninggalkan anak semata wayangnya itu tinggal berdua dengan bi Darma.
RIANA AKSARA. Gadis berusia 18 tahun itu anak dari pasangan Anggara Baskoro dan Indri Laksmi. Mungkin orang-orang yang mengenalnya berpikir bahwa dia adalah orang yang sombong dan sikapnya menyebalkan, dan mengingat dari cara berpakaiannya yang tidak jarang membuatnya menjadi omongan orang di sekitarnya. Tetapi dibalik itu semua, Riana adalah gadis yang baik dan pengertian. Mungkin tidak banyak orang yang tau kenapa sifat Riana berubah menjadi keras dibandingkan waktu dia sekolah menengah dulu, hanya beberapa sahabatnya saja yang tau bagaimana sifatnya berubah.
Selalu ditinggal bepergian oleh kedua orang tuanya karena urusan bisnis membuatnya kesepian dirumah. Sebenarnya Riana bukanlah anak yang manja, hanya saja dia selalu merasa jika orang tuanya jarang sekali memberikan perhatian, hanya materi yang selalu diterima olehnya. Riana sadar jika kedua orang tuanya sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan di masa depannya kelak, tetapi Riana juga butuh kehadiran keduanya saat dibutuhkan, terlebih lagi Riana adalah anak tunggal. Dan karena itulah, Riana membangun benteng yang membatasinya dan dunia sekitarnya dengan sikap dingin dan selalu blak-blakan jika tidak menyukai sesuatu. Mungkin itu alasannya kenapa Riana jarang sekali mendapatkan teman yang tahan akan sikapnya.
Tetapi semuanya berubah saat dia memasuki dunia perkuliahan dan menemukan beberapa orang yang menerima semua kekurangannya. Dari segi materi mereka memang tidak sebanding dengan Riana, tetapi Riana tidak pernah mempermasalahkan itu. Semenjak berteman dengan Risa, Pai dan Herman, Riana seperti menemukan saudara yang menemani kala sedih dan senang, dan mereka tidak segan menegur Riana jika ada yang salah pada sikapnya. Mereka tidak segan untuk beradu argumen sepele hanya untuk menentukan siapa yang paling ‘hebat’ diantara mereka. Akhirnya Riana menemukan tempat untuk menjadi dirinya sendiri.
★★★
Setelah mengantarkan Risa pulang bersama Herman, Riana pun berniat pulang. Susah dinalar memang apa yang sebenarnya terjadi tadi, ‘kenapa Risa bisa kerasukan?’, ‘kenapa Pai diperingatkan untuk tidak pulang ketempat itu lagi?’, ‘sebenarnya apa yang terjadi?’ pertanyaan-pertanyaan itu berkecambuk di benaknya.
Pukul sebelas malam Riana mengendarai mobilnya ke daerah atas dari kampusnya itu, menuju tempat tinggalnya. Daerah tempat tinggalnya memang kalau malam jarang sekali ada kendaraan yang lewat, mengingat perumahan yang memang masih jarang dihuni. Sebelum itu, dia harus melewati beberapa taman dan persimpangan yang masih ramai dilewati. Saat hendak melajukan mobilnya, ternyata lampu lalu lintas berubah menjadi merah lagi dan dia mau tidak mau harus menunggu lagi. Memang sudah sangat sepi jalanan saat itu dan hanya beberapa kendaraan yang terlihat.
RIANA’S POV
Entah bagaimana aku terus saja kepikiran dengan kejadian tadi di kampus. Yang aku tau, Risa tidak menunjukkan sikap aneh sebelum kejadian itu, ya mungkin hanya sikapnya saja yang berubah menjadi lebih diam dari biasanya. Tetapi aku tidak sampai berfikir kalau dia bahkan bisa kerasukan seperti tadi. Shock, jelas. Tetapi yang aku tidak mengerti adalah kenapa perasaanku mengatakan kalau siapapun sosok itu hanya ingin memperingatkan Pai tentang apa yang terjadi di apartemen itu. Tetapi tentang apa itu yang aku tidak tau.
Mengusir rasa ngantuk dan sepi, aku putuskan untuk memutar playlist stereo mobil.
“Sepi banget sih, tumben padahal baru jam sebelas,” gumamku.
Sambil menunggu lampu hijau, akhirnya aku memutuskan untuk membuka akun sosialku sekedar untuk mengusir rasa bosan.
“Gila ni Chelsea, liburan ke Singapura padahal bentar lagi mau ujian.” Gumamku saat melihat temanku memposting foto saat berlibur ke Negeri Singa.
Sesekali aku juga membalas beberapa chat yang masuk di handphone, kebanyakan itu dari anak-anak grup kelas yang membahas tugas kuliah atau membicarakan upcoming event yang akan diselenggarakan oleh kampus. Aku akhirnya meletakkan handphone kembali di kursi sebelah saat melihat hitungan mundur lampu merah tigapuluh detik lagi. Sambil menunggu, aku juga ikut menyanyikan penggalan lagu yang dimainkan stereo kesayanganku.
Saat sedang asik bernyanyi, tiba-tiba samar aku mendengar dari belakang jok mobilku seperti ada yang menggaruk kaca jendela. Sontak aku menoleh kebelakang, tetapi tidak ada apa-apa. ‘Aneh..’ gumamku. Ah mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku mengabaikannya dan mulai bernyanyi lagi. Selang berapa lama lampu lalu lintas berubah menjadi hijau dan aku mulai menjalankan lagi mobilku menuju arah pulang.
Perjalanan menuju rumah serasa sepi, yah itu memang sudah menjadi hal biasa yang aku rasakan. Jalan sepi karena tidak banyak kendaraan yang lalu lalang di jam-jam seperti ini. Apalagi dengan udara dingin khas daerah atas kota ini, menambah kesan seramnya.
Saat aku melewati salah satu hotel yang besar di kawasan daerah atas ini, lagi-lagi aku mendengar suara garukan di kaca jendela. Sebenarnya aku ingin mengabaikannya, tetapi lama kelamaan suara itu menggangguku. Semakin didiamkan, semakin menjadi-jadi saja. Tetapi aku tidak berani menengok ke belakang, entah kenapa alam bawah sadarku seperti berteriak mencegahku untuk melakukan itu. Akhirnya aku putuskan untuk tetap fokus menyetir dan menulikan telingaku dari suara-suara itu.
Kendaraanku hampir sampai di komplek perumahan, seharusnya aku merasa sedikit lega karena hampir sampai ke rumah dan keluar dari mobil yang membuatku ketakutan ini. Tetapi entah kenapa perasaan takutku semakin menjadi dan beberapa titik keringat dingin muncul di sekitaran dahi padahal AC di mobil sedang menyala. Setelah sampai di depan pagar rumahku, segera aku menekan klakson mobil dan pak Atim -satpam rumahku, membukakan pagar agar mobilku bisa masuk.
Sesaat aku ingin membuka seat belt, tiba-tiba aku merasakan hawa dingin berada tepat di belakang telingaku. Mendadak seluruh kuduk berdiri dan merasa insecure.
“Neng, ieu sanes rorompok abdi. Punten pang anterkeun abdi ka rorompok abdi.”
DEG
Entah itu telinga aku yang salah mendengar atau aku sedang berhalusinasi, tetapi suara itu jelas berasal dari sampingku! Aku tidak ingat ada seseorang di kursi belakang. Tidak..tidak, aku tidak pernah melihat ada orang di kursi belakang!! Lalu suara yang aku dengar ini apa??
Dengan perasaan takut juga tangan gemetar, aku paksakan untuk membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Persetan dengan barang bawaanku di dalam mobil! Setelah keluar mobil, pak Atim bergegas mendekatiku dan bertanya,, ‘ada apa neng? Kok wajahnya pucet?’.
Aku tidak membalas pertanyaan pak Atim dan melihat ke dalam mobil melewati kaca mobil depan, tetapi tidak ada siapa-siapa disana. Ah mungkin hanya perasaanku saja, ucapku pelan.
“Gapapa pak. Saya masuk ke dalam duluan ya pak.” Tanpa menunggu jawabannya aku langsung masuk rumah dan memutuskan untuk mengambil barang-barangku di mobil besok pagi saja.
Cepat-cepat aku masuk kamar yang berada di lantai atas dan mengecek jendela kamar yang menghadap ke arah luar. Perasaan was was dan tidak tenang ini masih saja menyelimutiku. Aku menyakinkan diriku kalau apa yang terjadi tadi hanya khayalan saja, semua yang terjadi hari ini memicu reaksi berlebihan itu. Tak lama akhirnya aku memutuskan untuk bersiap mengistirahatkan badanku. Namun pikiranku masih tetap melayang memikirkan kejadian tadi di kampus. Aku yakin jika kejadian tadi bukanlah kebetulan yang tidak terduga, aku yakin ada sesuatu menyangkut apartemen Pai yang membuat Riana jadi kerasukan. Tetapi apa?
Agak lama aku berpikir, tidak terasa sudah hampir tengah malam tetapi pikiranku masih tetap mencari jawaban tentang ‘apa’ dan ‘kenapa’ yang berhubungan dengan kejadian hari ini. Tiba-tiba, aku merasakan angin berhembus.
‘Bukannya jendelanya sudah tertutup rapat?’ Aku sudah memastikan sebelum naik ke atas kasur dan mengecek semua jendela tertutup rapat, tidak mungkin aku lupa. Dan benar, saat aku menoleh ke arah jendela tidak ada satupun yang terbuka. ‘Apa mungkin terbuka sedikit?’ Dengan malas aku berjalan ke arah jendela untuk memastikannya tertutup rapat. Tetapi lagi-lagi aku yakin jendela tertutup dengan sangat rapat dan tidak ada cela untuk angin masuk.
Mendadak perasaan takut ini menyelimutiku lagi, entah bagaimana seakan-akan aku sedang diawasi. Dan saat aku memandang lurus ke luar jendela, samar-samar aku melihat siluet hitam. Bukan, siluet hitam itu bukan berasal dari luar jendelaku tetapi itu seperti… berada tepat di belakangku!
Spontan aku menoleh ke belakang, memastikan tidak ada apa-apa disana. Tetapi apa yang aku lihat membuatku menyesal untuk membalikkan badan. Tepat di beberapa langkah depanku, aku melihat sosok hitam tinggi yang menjulang hingga ke langit-langit kamarku. Semula hanya terlihat siluet gelap dan perlahan mulai jelas terlihat sosok itu. Sosok perempuan tua!
Langkahku terhenti, suaraku mendadak hilang. Ingin rasanya aku bergerak ke arah pintu keluar dan berteriak memanggil bi Darma yang tertidur lelap di kamar bawah, tetapi seluruh anggota tubuhku seperti dipaksa berhenti. Lidahku kelu dan airmataku dengan sukses keluar karena ketakutan. Aku bukan pemberani, tetapi kenapa aku bisa masuk ke dalam situasi seperti ini!
“Ulah kaditu deui! Lamun maraneh sayang nyawa, tong kaditu deui!”
Ah tidak, bagaimana perkataan sosok itu harus sama dengan yang ucapkan saat Riana kesurupan di kampus hari ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Air mataku turun dengan deras dan aku memaksa suaraku untuk keluar, berteriak kencang! Dan berhasil. Akhirnya aku keluar kamar dan berlari menuju kamar bi Darma. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan memeluk bi Darma yang sekarang terbangun karena isak tangis dan pelukan eratku.
“Neng, ada apa neng? Istighfar neng. Ada apa ini teh?” tanya bi Darma saat kebingungan melihatku menangis dipelukannya. Entah berapa lama aku menangis hingga akhirnya tertidur di dekapan bi Darma.
Comments (0)
See all