Desi, mahasiswi fakultas Jepang yang berusia 22 tahun itu sedang menunggu teman-temannya yang masih berada di dalam ruangan itu membuka buku jurnalnya dan menuliskan beberapa bait puisi. Ia dengan tenang menunggu di penataran kelas yang terdapat kolam ikan kecil itu. Sambil mendengarkan gemercik suara air, ia dengan mudahnya menuangkan semua pemikirannya dalam bentuk rangkaian kata.
Ia bisa mendengar suara riuh dari mahasiswa lainnya yang berada di kantin, yang kebetulan terletak tidak jauh dari ruangan itu. Ia tidak terganggu dengan keramaian itu dan hanya memandang tenang ke arah kolam ikan dan melanjutkan aktivitasnya. Hingga akhirnya beberapa teman-teman sekelasnya satu persatu keluar dari kelas.
“Anjir, pinter ya maneh. Aing sampe ditinggal” kata teman Desi yang berperawakan besar sambil memukul pelan pada Desi yang hanya direspon tertawa olehnya.
“Suruh siapa lama ngisi jawabannya.” kata Desi sambil mengambil botol minuman dari tasnya.
Temannya itu mengambil tempat duduk di lantai dekat dengan Desi sambil memainkan handphonenya dengan fokus, “Arya ngechat nih. Dia bilang bakal masuk di matkul ketiga.”
Desi menghembuskan nafas kasarnya sebelum menjawab ucapan temannya itu, “kebiasaan banget itu si pendek. Bilang sama dia lah, kalau di matkul bu Yuli dia absen terus bisa-bisa di SP.” jawabnya.
Rena menganggukkan kepalanya dan mulai mengetik balasannya pada Arya seperti apa yang dikatakan oleh Desi. Acara mengetiknya terhenti sejenak saat Ikbal datang dan duduk di dekatnya sambil menarik catatan yang berada di pangkuannya.
“Pinjem, urang belum belajar.” kata Ikbal dengan seenak jidatnya langsung merebut catatan Rena tanpa menunggu jawaban dari si empunya.
Ikbal adalah teman sepermainan mereka , lebih tepatnya Rena, Desi, Arya dan Andri. Dia yang bukan dari teman sekelas memang akrab dengan mereka berempat apalagi mereka sudah berteman saat penerimaan mahasiswa baru dan semakin dekat saat orientasi mahasiswa jurusan.
“Andri mana?” tanya Ikbal sambil mencomot cemilan milik Desi yang langsung ditepis tangannya oleh Rena. “kebiasaan ih maneh!”
Belum sempat Desi menjawab pertanyaan Ikbal, dari tanggal yang langsung menghadap ke arah mereka terlihat Andri berjalan sambil menggandeng seorang perempuan yang merupakan adik angkatannya.
“Panjang umur tuh anak.” kata Desi sambil menggerakkan kepalanya mengkode ke arah Andri yang diikuti oleh pandangan Ikbal dan Rena.
“Anjir! Maneh bolos buat pacaran?! Damn my bro!” teriak Ikbal saat Andri dan adik angkatan itu mendekat. Baik Rena maupun Desi tidak menanggapi ucapan Ikbal maupun Andri. Mereka berdua langsung sibuk dengan obrolannya. Jujur, mereka berdua yang sudah menjadi sahabat dekat selama hampir 3 tahun ini mempunyai beberapa kesamaan dalam sifat ataupun hal lainnya maka itulah yang membuatnya lebih dekat daripada yang lain. Tetapi ternyata merekapun mempunyai satu kesamaan yang bahkan kedua orang ini sadari. Mereka sama-sama menyukai Andri!
Apakah mereka tau akan perasaan masing-masing? Iya. apakah itu membuat persahabatan mereka renggang? Tidak. Karena mereka berjanji, walaupun keduanya menyukai pria yang sama tidak akan membuat keduanya lebih mementingkan Andri. Dan melihat Andri menyukai adik angkatannya ini juga membuat mereka saling membagi rasa sakit hatinya bersama.
“Cepetan belajarnya, bentar lagi lo masuk kan.” kata Rena menginterupsi apapun yang Ikbal dan Andri bicarakan.
Dan berhasil membuat mereka semua fokus pada apa yang dikerjakan, Rena dan Desi masih asik membicarakan sesuatu yang hanya mereka tau tanpa berkeinginan untuk menyapa pacar dari Andri, sedangkan Ikbal yang sudah fokus pada catatan Rena dan Andri yang sibuk berbicara dengan pacarnya itu.
★★★
Jarum pendek pada jam tangannya sudah menunjukkan tepat jam 6 sore dan ia masih saja berada di lingkungan kampusnya karena harus menunggu Ikbal. Mereka memang satu kostan dan itulah yang membuat mereka mau tidak mau harus bersama kala berangkat maupun pulang kuliah, kecuali jika mereka mempunyai kegiatan yang berbeda. Ya itu keuntungan yang didapatkan Desi karena selama Ikbal tidak mempunyai kekasih, ia akan leluasa nebeng dengan sahabatnya itu.
‘Tungguin di Lanmer bentar. Urang lagi ngobrol dulu sama senior di sekret. Atau maneh mau samperin kesini?’
Desi membaca lagi pesan singkat yang dikirim Ikbal itu, jujur saja ia lebih suka menunggu disini daripada harus ke sekret Mapala yang sudah pasti ada beberapa tampang yang menakutkan dan tidak mengenakan. Itu dikarenakan ada satu teman Ikbal bernama Rey yang menyukainya dan itu membuatnya merasa tidak nyaman saat bertemu dengan pria itu karena pandangannya yang seperti ingin mendominasinya.
‘Nunggu di Lanmer aja deh. Bentar aja ya.’ Desi membalas dengan cepat pesan itu. Ia lalu mencari tempat yang agak jauh dari orang lain dan membuka jurnalnya dan mulai menulis beberapa baik di catatannya itu.
Hampir 20 menit berlalu dan Desi mulai tenggelam dengan fokusnya tanpa sadar beberapa orang yang tadi berada tidak jauh darinya akhirnya pergi dan di sana hanya ada sekitar 5 orang saja termasuk dirinya.
Tes..tess..tess…
Terdengar hujan sedikit demi sedikit menderas di luar dan membuat Desi mau tidak mau melihat sekelilingnya, ‘udah sepi. Dimana Ikbal?’ gumamnya pelan sambil membuka aplikasi di handphonenya dan berniat untuk menelpon sahabatnya itu.
Tetapi gerakannya itu terhenti kala..
Sesuatu atau seseorang..
Bergerak dengan pelan dari arah belakangnya.
Desi mengira itu adalah Ikbal yang mungkin ingin menjahilinya saja, tetapi sesaat ia membalikkan badannya dengan pelan. Satu kesalahan. Ia melihat sesosok yang sedari tadi mengintainya.
Si Merah!
Dan Desi pun berteriak keras tetapi sebelum orang-orang mengalihkan pandangan padanya, ia sudah terlanjur tak sadarkan diri.
★★★
“Si Ikbal bakal datang kesini.” kata Reihan mencoba untuk masuk ke dalam pembahasan inti yang seharusnya mereka bahas sekarang.
“Kak Ikbal?” kata Pai kebingungan.
“Iya, gue udah minta tolong juga sama dia. Siapa tau dia bisa cari tau lagi orang yang dulu nolongin kak Desi.” kata Reihan sambil memandang kedua temannya yang duduk di hadapannya itu.
“Gue udah coba tanyain sama anak-anak yang dulu sempet bantuin Desi juga. Mungkin nanti malam gue udah dapat kontak si bapak itu.” kata Ikbal.
Mereka sekarang berada di lantai merah dan masih berdiskusi tentang tindakan apa yang harus dilakukan mengingat kejadian itu bukanlah pertama kalinya. Dan mereka tidak akan menunggu sampai adanya jatuh korban lagi apalagi jika itu adalah teman baik mereka.
“Tapi aing masih penasaran sih, maksudnya tuh ya apa hubungannya kejadian kak Desi dulu sama si Risa?” tanya Pai pada Ikbal yang duduk tidak jauh di hadapannya.
“Entahlah, mungkin kalau kita bisa ketemu sama si bapak itu bakal tau apa hubungannya. Karena jujur sebenernya gue aja gak tau hubungannya apa selain dia kesurupan.” jawab Ikbal dengan sedikit ragu.
“Tapi kalau dipikir-pikir sih bukan cuman Risa aja, tapi gue sama lo kan juga di gangguin sama si hantu merah itu.” kata Riana yang tiba-tiba sudah duduk di samping Pai saat ia tidak sadar jika sahabatnya itu sudah berada disana.
“Eh, lo bukannya gak masuk ya?” tanya Pai dengan sedikit kebingungan karena pasalnya Herman bilang kalau Riana tidak akan masuk kuliah karena sesuatu. Tetapi Riana hanya mengangkat bahunya seakan-akan dia acuh dengan pertanyaan Pai.
“Oh, kalian juga digangguin?” tanya Ikbal mengalihkan perhatian mereka.
Karena pertanyaan itulah akhirnya Pai dan Riana menceritakan hal-hal yang tidak biasa selama ini yang menurut mereka berhubungan dengan kejadian yang dialami juga oleh Risa.
“Berarti kalian bertiga setidaknya harus saling jaga biar gak ada apa-apa lagi.” kata Ikbal setelah mereka berdua selesai bercerita.
★★★
“YANG BENER AJA ANJIR!!” teriak Pai sesaat sampai di apartemennya sedangkan Herman dan Riana hanya tertawa melihat temannya itu marah-marah.
“Bukannya lo suka sama Reihan, ya gak apa-apa dong kalau misalkan lo dijagain sama dia, hehe.” kata Herman sambil tertawa saat melihat Pai dengan marahnya dengan melemparkan barang-barang kecil padanya. “Hahahaha, sekalian pedekate ya gak sih?” tambahnya yang membuat Pai langsung menerjangnya dan menjambak rambutnya.
“Tapi gak gini juga anjir! Malu aing..!!!!” teriak Pai masih menjambak rambut Herman sampai wajahnya menjadi merah dan berteriak kesakitan.
“Argh.. aahh.. Iya iya maaf, ndoro! Ampun..!” teriak Herman meminta ampun pada Pai karena jambakan itu membuat kepalanya seperti disetrum.
“Udah deh, kayak anak kecil kalian mah.” lerai Riana saat melihat Herman sudah seperti hampir pingsan bukan hanya karena rambutnya dijambak saja tetapi karena tubuhnya diduduki oleh Pai.
“Hosh..hosh.. Goblok memang punya temen barbar kayak lo mah!” kata Herman dengan nafas yang tersengal-sengal karena kelelahan. Bukan karena dia tidak bisa menghentikan Pai tetapi ya karena dia seorang cowok jadi dia hanya bisa nerima pukulan dan jambakan dari sahabat perempuannya itu.
“Oke, jadi sekarang kita bagi tugas ya. Kita bakal saling jaga selama kita kuliah dan kalau misalkan diluar dari itu, gue jagain Riana dan Risa, lo dijagain sama Reihan ya. Ikbal juga bakalan bantu kita kalau ada apa-apa.” kata Herman dengan mode seriusnya itu mulai membuka suara dan membuat kedua orang di hadapannya itu diam mendengarkannya dengan patuh.
Comments (0)
See all