Please note that Tapas no longer supports Internet Explorer.
We recommend upgrading to the latest Microsoft Edge, Google Chrome, or Firefox.
Home
Comics
Novels
Community
Mature
More
Help Discord Forums Newsfeed Contact Merch Shop
Publish
Home
Comics
Novels
Community
Mature
More
Help Discord Forums Newsfeed Contact Merch Shop
__anonymous__
__anonymous__
0
  • Publish
  • Ink shop
  • Redeem code
  • Settings
  • Log out

Sahabat Pena

Satu: Sembilan Tahun Kemudian

Satu: Sembilan Tahun Kemudian

Jul 20, 2022

Yogyakarta, 2144

 

Berangkat sekolah pagi hari ini, seperti biasa menguarkan aura kebosanan yang sama. Padahal hari ini hari pertama Javas masuk sekolah. Tahun kelimanya menimba ilmu di Indonesia, setelah melewati tiga tahun di SMP dan satu tahun di kelas sepuluh. Jika ini Skotlandia, mungkin Javas sudah jadi mahasiswa, meski sampai saat ini ia masih belum tahu ingin kuliah di jurusan apa.

Javas menyimpulkan dasinya dengan enggan sebelum menjinjing ransel turun ke lantai dasar untuk sarapan. Bapak menyiapkan setangkup roti tawar dengan daging lapis dan telur mata sapi yang pinggirannya agak gosong. Javas mengernyit pada gigitan pertamanya. Bahkan rasa makanan sungguhan masih asing bagi lidah Javas. Terlalu banyak  kombinasi perisa dan aromanya terlalu kuat. Kini ia mengerti mengapa orang-orang konsumen makanan alami bilang makanan sintetis rasanya menjijikkan; makanan nonsintetis mereka juga sama menjijikkannya.

Javas membilas kerongkongannya dengan air putih, sebelum menjinjing tas, "Aku berangkat, Pak."

"Kenapa buru-buru? Nggak mau bareng Bapak sekalian? Lima belas menit lagi deh, kita berangkat. Bapak tinggal ganti baju aja, kok."

Javas menggeleng, "Aku mau naik trans aja," Javas mencari-cari alasan dalam kepalanya, "Aku lupa belum catat jadwal piket waktu daftar ulang sekolah minggu lalu."

"Tunggu Javas." Bapak tergopoh-gopoh berlari menaiki tangga di atas dapur lalu mencari-cari sesuatu di atas meja pendek di depan kamar. Pemuda tersebut membalikkan badan, menangkap sebentuk benda persegi tipis yang dikaitkan dengan tali, yang Bapak lempar dari atas. "Kartu identitasmu jangan lupa. Kemarin Bapak taruh situ soalnya pas Bapak cuci baju kotor, Bapak nemu di kantong jaketmu. Nanti nggak bisa bayar trans kalau nggak bawa kartu."

Javas mengalungkan di leher seraya beranjak keluar apartemen mereka. Di Yogyakarta, bisa punya unit satu setengah lantai mezzanine adalah kemewahan yang benar-benar mewah, karena keterbatasan lahan tanah dan bangunan-bangunan yang masih ada hingga sekarang hampir semuanya disusun secara vertikal. Javas mengantre di lorong berisi sepuluh lift dalam gedung ini, masing-masing lima di kedua sisi, bersama sekerumun orang yang lain, menunggu bilik persegi tersebut turun ke lantai mereka. Beginilah jika unitnya terletak di tengah gedung, menunggu lift bisa memakan waktu hingga sepuluh menit sendiri. 

Javas melirik arlojinya, masih ada waktu satu jam lagi sebelum gerbang sekolah  ditutup. Karena hari ini hari pertama sekolah, jam masuknya dimundurkan lima belas menit jadi pukul tujuh lebih lima belas. Ia punya banyak waktu untuk berjalan kaki ke halte selanjutnya dalam rute menuju sekolah. Javas bisa saja naik bus 2A dari halte depan apartemen lalu oper ke 1B di halte Taman Pintar, tanpa harus membayar ongkos dua kali, namun sepagi ini suasana hatinya sedang amat muram hingga ia membutuhkan waktu untuk sendirian tanpa bertemu orang lain. 

Pintu lift terbuka, menampakkan segerombol orang sudah ada di dalam, mungkin hanya bisa terisi tiga sampai empat orang lagi jika tidak ingin mencapai kapasitas maksimal. Javas mengalah pada sepasang orang tua dan ibu hamil di belakangnya. Sementara lift sebelah, seorang tetangga yang pelajar dari sekolah lain menerobos masuk setelah mendorong seorang perempuan dewasa muda untuk menepi. Ia mendapat makian dari banyak orang. Tetapi siapa yang peduli dengan menyerobot antrean, toh ketika pintu berdaun ganda tersebut akhirnya menutup, ia yang menang. Javas merutuk dalam hati, persetan dengan etika dan tata krama yang telah dibawanya sejak dari Skotlandia. Di sini, orang-orang hidup seperti dalam rimba belantara, tempat mereka saling sikut untuk memenuhi keinginannya. Dulu atau sekarang tidak banyak yang berubah.

Lift ke empat yang turun lumayan lengang penumpang. Tapi ini lift nomor tujuh, yang notabene sering diberi stiker 'sedang dalam perbaikan' bahkan hingga tiga kali dalam sebulan, saking seringnya rusak. Javas tidak punya pilihan lain, selain menumpang lift ini seraya merapal doa agar tidak macet ketika dia di dalamnya.

Di sini, Tuhan terasa dekat dengan manusia, begitu kata Bapak ketika mereka baru tiba di Yogyakarta. Segala persoalan manusia diselesaikan dengan berdoa, dan mereka harus membiasakan itu jika ingin berbaur dengan penduduk lokal. Sesekali menyebut nama Tuhan dalam embusan napas alih-alih mengeluh atau merutuk kesal, tidak ada salahnya. Setidaknya berdoa kini adalah satu hal yang cukup dikuasai Javas dalam pelajaran adaptasinya di Indonesia.

Mendung menggelayut rendah ketika Javas keluar dari gedung apartemen. Ia memasang perangkat jemala di telinga, lalu memainkan daftar putar Papa yang masih ia simpan sampai sekarang. Javas sudah berhenti bertanya bagaimana keadaan Papa sekarang, setelah ia mengenal konsep berdoa. Mereka sudah berada di alam yang berbeda sekarang, dan Javas pikir akan lebih baik begitu karena Papa telah menyelesaikan urusannya di sini. Kini yang ia lakukan adalah berdoa untuk Papa sepanjang jalan Malioboro menuju ke halte Taman Siswa. Seratus tahun lalu, jalanan ini adalah pusat para wisatawan, tempat banyak orang menjajakan mulai makanan hingga cendera mata khas Yogyakarta. Namun kini kawasan Malioboro tak ubahnya seperti jalanan kota mati, yang hanya dilalui oleh bus trans dan beberapa kendaraan pribadi orang-orang yang tinggal di sekitar sini.

Javas menempelkan kartu identitasnya pada sensor halte untuk membuka pintu. Setiap orang di sini hanya perlu membawa satu kartu ke mana-mana sepanjang hidupnya. Segala kebutuhan mereka bisa dipenuhi oleh satu benda mungil itu, mulai dari pembayaran digital, absensi di sekolah atau kantor, hingga membuka kunci apartemen dan kendaraan pribadi. Meski begitu, Javas sering melalaikan kartunya, karena di Skotlandia ia bahkan hanya memerlukan matanya saja untuk proses identifikasi. Javas sedikit berjengit ketika bokongnya mendarat pada bangku baja dingin di dalam halte. Sepagi ini ia menjadi satu-satunya calon penumpang bus, dan hal tersebut terasa cukup aneh, mengingat sekarang hari Senin dan tidak sedang libur nasional. Mungkin karena faktor perkiraan cuaca pagi ini yang memberi peringatan warga untuk tidak bepergian karena cuaca sedang terik-teriknya. Pada bulan Agustus, musim pancaroba sedang berada di puncaknya, sehingga perubahan cuaca yang ekstrim membuat orang jadi bermalas-malasan keluar rumah. Badai matahari juga lebih sering terjadi pada waktu-waktu seperti sekarang, sehingga Javas tidak pernah lupa untuk menyimpan mantel uretan-nya di dalam ransel dan loker sekolah. Javas memeriksa penunjuk waktu dan GPS di monitor pantau pada bagian dalam halte. Busnya akan datang dalam lima menit lagi.

Sesosok tubuh terlihat menempelkan kartu identitas yang sama dengan milik Javas—kartu biru untuk pelajar, merah untuk mahasiswa dan kuning orang dewasa—sebelum pintu berkaca buram tersebut membuka dan menampilkan seorang remaja putri dengan rambut cokelat kemerahan yang unik. Javas yakin sekali itu bukan warna alami rambut manusia, terlihat seperti diwarnai dengan cat khusus jika dilihat dari kilatan warnanya. Gadis itu juga tidak terlihat seperti keturunan ras dengan rambut berwarna selain hitam, jadi Javas semakin yakin jika itu cuma diwarnai. Namun, yang lebih menarik perhatiannya lagi adalah seragam mereka identik. Sekolah yang sama, seragam sama, tetapi Javas bahkan baru menyadari dia punya teman seangkatan yang tinggal berdekatan dekat kompleks rumahnya.

Javas bukanlah tipe orang yang bisa dengan mudah mencari teman. Sebab itu sejak usianya masih delapan tahun, Bapak dan Papa menyuruhnya mencari teman, agar ia bisa bertahan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Namun, Javas hanya pernah punya satu teman saja selama empat tahun menjadi pengguna situs Sahabat Pena, dan kini ia bahkan tidak tahu di mana temannya itu berada.

Hanya ada satu kursi kosong tersisa ketika bus datang. Javas memilih untuk berdiri di dekat area penyandang disabilitas yang kebetulan kosong dan memberikan kursi tersebut pada teman sekolahnya yang bahkan tidak ia kenal. Bapak dan Papa membesarkannya dengan benar, dan Javas sangat bangga dengan kedua orang tuanya, hingga ia tetap memegang teguh prinsip untuk mengutamakan orang tua, anak kecil dan perempuan, ketika berada di mana saja, terutama ruang publik. Sepanjang perjalanan menuju SMA Negeri 22 Yogyakarta, Javas beberapa kali mencuri pandang ke arah teman barunya ini.

Jantung Javas sempat melompati satu denyutan ketika melihat aksara Korea di sampul buku yang dibaca temannya. Anak perempuan dan aksara Korea adalah dua hal yang bisa memantik ingatan Javas tentang satu-satunya teman yang pernah ia punya. Tapi, tidak mungkin, 'kan, kalau perempuan itu teman Javas, meski mereka sama-sama bisa berbahasa Korea?

Korea itu negara maju dan wilayahnya luas. Dulu saat SMP, di sekolah Javas ada kelas Bahasa Korea disamping Bahasa Mandarin dan Jerman, jadi cukup wajar melihat orang yang pandai berbahasa Korea di sini. 

Javas dan anak baru itu turun di halte depan sekolah. Di hadapan mereka sudah ada tiga barisan panjang masing-masing untuk kelas 10, 11 dan 12. Seperti biasa, sebelum masuk lingkungan sekolah mereka harus dicek suhu terlebih dahulu dan absen. Javas dan anak baru itu berdiri berurutan menunggu giliran dengan sabar. 

"Bentar, Nduk, bentar. Kamu, anak baru, ya?" tegur pak satpam pada anak perempuan di hadapan Javas. Ia menjawab dengan anggukan kepala. Agak kurang sopan rasanya jika menjawab pertanyaan lisan dengan bahasa isyarat, tetapi tidak mungkin jika ia tidak bisa bahasa Indonesia. Atau bisa saja dia malu karena aksennya akan terdengar lucu, hal yang sama pernah Javas alami lima tahun lalu. Ia dan logat Scottish-nya langsung terkenal seantero SMP 1 Yogyakarta hanya dalam waktu kurang dari seminggu. 

"Iya, Pak," jawab anak perempuan tersebut seraya menunjukkan kartu identitas. Javas nyaris menghela napas lega, ternyata dia bisa berbahasa Indonesia dan logatnya tidak aneh. Satpam sekolah segera memindai kartu tersebut sebelum mengembalikan pada pemiliknya. 

"Data kamu sudah masuk di saya, tapi kelas kamu belum ada. Sana ke ruang guru dulu buat tanya pembagian kelasmu, nggak usah ikut upacara dulu, nggak apa-apa." Javas memandangi punggungnya yang menjauh menuju ruang tata usaha, hingga ia tidak menyadari barisan di belakangnya mulai memanjang, dan pak satpam menegurnya. "Ayo, maju! Mentang-mentang ada cewek bening langsung jelalatan matanya!"

 

***

 

"Perhatian semuanya, anak-anak," Pak Seno, wali kelas kelas XI MIA 5 yang mengampu mata pelajaran Fisika, masuk kelas diikuti seorang murid perempuan. "Hari ini kita kedatangan teman baru, silakan perkenalkan dirimu."

Javas baru saja menyambungkan laptopnya dengan jaringan internet nirkabel ketika ia dengar pemberitahuan tersebut. Reflek kepalanya mendongak untuk mencari tahu. Seorang gadis yang sejak awal tertunduk malu-malu, mengangkat kepalanya, mencoba bertemu pandang dengan seluruh anggota kelas—berhenti sedikit agak lama pada Javas, mungkin karena mengenalinya sejak dari halte—lalu ia berdeham kecil.

"Selamat pagi teman-teman. Saya Dahayu Agnimaya, panggilannya Hayu. Pindahan dari Universitas Yonsei jurusan Biomedical Sciences, salam kenal."

Sebentuk tangan melambai di udara. Doni, si playboy cap teri di kelas berdiri untuk mengajukan pertanyaan. "Tanya dong, apa aku yang salah dengar, atau memang kamu pindahan dari universitas?"

Dahayu mengangguk, "Usia saya kurang untuk masuk Universitas, jadi pihak akademik Universitas Gajah Mada merekomendasikan saya untuk kembali ke bangku SMA. Ada yang ingin bertanya lagi?"

Di kursi yang ia tempati, Javas mematung. Semua yang mengganjal pikirannya kini terjawab sudah. Dia Dahayu yang Javas kenal. Memangnya ada berapa orang Dahayu Agnimaya yang pernah tinggal di Korea Selatan di dunia ini? Bahkan kini bahasa Indonesianya jauh lebih bagus dari bahasa Indonesia Javas.

custom banner
messylochness
N. Lucien

Creator

#konspirasi #distopia #rekayasa_genetika #sains_fiksi #masa_depan #bildungsroman #young_adult

Comments (0)

See all
Add a comment

Recommendation for you

  • Secunda

    Recommendation

    Secunda

    Romance Fantasy 43.3k likes

  • What Makes a Monster

    Recommendation

    What Makes a Monster

    BL 75.3k likes

  • Invisible Boy

    Recommendation

    Invisible Boy

    LGBTQ+ 11.4k likes

  • For the Light

    Recommendation

    For the Light

    GL 19.1k likes

  • Silence | book 2

    Recommendation

    Silence | book 2

    LGBTQ+ 32.3k likes

  • Blood Moon

    Recommendation

    Blood Moon

    BL 47.6k likes

  • feeling lucky

    Feeling lucky

    Random series you may like

Sahabat Pena
Sahabat Pena

4.1k views3 subscribers

Surat-surat dari seseorang bernama Dahayu Agnimaya tak pernah lupa menyapa Javas setiap hari Minggu. Suatu saat, kehadirannya berhenti begitu saja, dan balasan yang Javas kirimkan padanya tak pernah terjawab lagi. Sembilan tahun kemudian, ia dipertemukan dengan pengirim surat tersebut. Ada rahasia di balik semua petunjuk yang ditinggalkan lewat surat-surat itu, sehingga Javas harus memecahkan sendiri.
Subscribe

5 episodes

Satu: Sembilan Tahun Kemudian

Satu: Sembilan Tahun Kemudian

99 views 1 like 0 comments


Style
More
Like
List
Comment

Prev
Next

Full
Exit
1
0
Prev
Next