Yogyakarta, 2144
Javas tak pernah terpikir untuk menghitung berapa jarak Edinburgh ke Seoul dalam skala kilometer, ketika ia kecil dahulu. Yang diingatnya adalah suratnya butuh waktu seminggu untuk sampai sana, jadi setiap minggu mereka mengirim E-pos agar bisa tiba tepat waktu. Kini jaraknya dengan Dahayu hanya seuluran tangan, dua bangku dari depan, namun ia tidak berani menjangkau lebih dulu. Apa yang akan dikatakannya? Apa Dahayu masih mengingatnya, seperti ia yang tak pernah lupa kenangan kecil mereka dulu? Tapi bagaimana jika Dahayu lupa? Javas tidak mungkin memaksanya mengingat seorang teman yang bahkan tidak berkesan bagi Dahayu.
Bel istirahat pertama berbunyi, Javas mengemasi laptopnya, memasukkan ke dalam tas. Kali ini ia tak lupa mengalungkan kartu identitas di leher sebelum beranjak ke kantin. Tahun lalu ia sering lupa membawa kartu identitas karena setiap kali berangkat sekolah diantar Bapak, dan meninggalkan kartunya di mobil hingga jika ia ingin makan siang di kantin, bapaknya mentransfer sejumlah uang ke kartu teman sebangkunya agar Javas bisa nebeng beli makanan. Padahal bagian paling menyenangkan dari sekolah adalah penjual makanan sintesis dengan harga terjangkau, jauh lebih murah dari makanan di Edinburgh. Meski begitu, hanya Javas satu-satunya pelanggan beliau, saking sepinya dagangan di sana dan anak-anak lain yang dari lahir dibesarkan di Indonesia lebih suka makanan normal. Seperti Dahayu, mungkin.
Javas memesan seporsi makaroni keju sintetis serta dua tumpuk burger sintetis. Ia ingin balas dendam karena tidak sarapan pagi ini dan menebusnya dengan makan banyak. Javas membawa nampannya ke meja paling ujung bersebelahan dinding dengan gudang sekolah dan paling sepi, di mana hanya dia yang mau duduk sana saking suramnya aura di meja tersebut. Konon ada cerita hantu dari gudang sekolah yang membuat banyak siswa enggan duduk sana. Ha! Ini tahun 2144 dan mereka masih percaya hantu, benar-benar, deh.
Ia tak pernah benar-benar bisa bergaul dengan teman sebayanya, di manapun dia berada. Menurutnya, ia berbeda dari teman yang lain. Ibarat DNA, struktur nukleotida mereka seolah-olah sama sekali tidak tersusun dari unsur yang sama, hingga Javas biasanya berakhir dengan diabaikan atau mereka semua diam di dekatnya karena tidak ada topik obrolan menarik yang bisa dibicarakan. Mungkin benar instingnya sejak kecil bahwa dia memang keturunan alien. Atau bahkan dulu ketika fase embrio dia pernah terpapar radioaktif sehingga dia berbeda dari anak lain sebayanya.
"Hai, boleh duduk sini?" sapa sebentuk suara. Javas mendongak malas-malasan dan ia hampir saja menjatuhkan sendoknya. Ia pasti akan langsung menolak siapapun yang ingin duduk semeja dengannya, jika saja dia bukan Dahayu. Apakah Dahayu mengenalinya dan ia ingin bernostalgia mengenang masa kecil mereka?
Javas mempersilakannya menempati sisi meja yang berhadapan dengan kikuk. Dahayu berterima kasih sambil meletakkan nampan. Hanya sekali lirik ke isi nampan, Javas bisa menilai jika Dahayu makan makanan normal, seperti dugaan. Memang cuma soal ini saja yang bisa diketahuinya dari teka-teki seorang Dahayu.
"Kamu tinggal di mana? Tadi kita sama-sama naik dari halte Malioboro, jadi kupikir kita tetanggaan." Dahayu memulai pembicaraan.
"Apartemen Gemintang di Sosrowijayan," jawab Javas singkat. Tidak ada temannya yang tahu di mana dia tinggal, tetapi dia memberitahukan alamatnya pada anak baru ini karena mungkin rumah mereka berdekatan.
"Aah … Apartemen, ya. Rumahku di Dagen, sih. Lumayan dekat juga. Kamu nggak keberatan aku di sini? Agak canggung rasanya jadi anak baru,” Javas tidak bisa tidak mengangguk setuju terhadap pernyataan tersebut. Bahkan ia yang sudah lima tahun menetap di Indonesia saja masih merasa canggung.
"Nggak, kok."
"Kamu ngapain menyendiri di sini? Nggak pengin gabung sama yang lain?"
Javas mengangkat bahu, "Aku nggak akrab sama mereka."
Dahayu mendecak, "Kan bisa dibikin akrab. Kalau nggak dimulai dari sekarang, mau nunggu badai matahari dulu?"
Javas tidak tertawa mendengar lelucon itu. Badai matahari adalah siklus badai tiap tiga tahunan paling buruk yang pernah dialaminya selama di Indonesia. Bahkan masih lebih baik dari hujan badai yang mengakibatkan banjir hingga setinggi lebih dari 1,5 meter, dan membuat aktivitas warga mengalami kelumpuhan selama hampir tiga minggu pada tahun pertama Javas di Indonesia.
"Kenapa bukan kamu saja yang gabung sama mereka?" sindir Javas. “Kan lebih enak kumpul ramai-ramai ketimbang duduk semeja denganku.”
"Omong-omong logatmu lucu, kamu juga baru pindah ke sini?" Dahayu terkikik, mengabaikan ucapan Javas barusan. Javas memutar bola matanya, ia jelas sedang membicarakan itu untuk pengalihan topik.
“Enggak kok, aku sudah lima tahun pindah ke sini."
"Masih belum bisa adaptasi, atau memang kebiasaan lama susah hilang?" Dahayu mengibaskan tangannya di depan muka dengan santai. “Waktu aku kecil, keluargaku juga berpindah-pindah tempat. Walau sama-sama di Korea juga, aku sempat melongo saat bibi-bibi paruh baya mengobrol dengan dialek khas sana dan aku nggak paham maksudnya. Apa kamu juga gitu? Begitu pindah ke Indonesia, langsung tinggal di Yogya yang masih kental bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia-nya sedikit banyak kecampur sama dialek lokal, pasti kalau belum terbiasa jadi bingung juga.”
"Nggak tahu," Javas menyelesaikan kunyahan makaroni keju di dalam mulut, lalu menyingkirkan pinggan kosong itu dari hadapannya. "Sepertinya aku nggak bakal terbiasa dengan lingkungan mana saja, bahkan meski nggak tinggal di Yogya."
"Kenapa?"
"Entah, nggak bisa aja."
Dahayu menyuap sesendok nasi goreng lalu mengunyahnya cepat, "Nggak bisa atau nggak pernah mencoba?"
"Aku pernah punya teman, kok!" Javas membalas defensif, seraya mengusap sudut bibirnya yang belepotan kena saus dengan punggung tangan. Mungkin dia tidak pernah benar-benar mengenal Dahayu, sehingga ia sedikit terkejut karena mendengar betapa ceriwisnya Dahayu.
"Lalu, sekarang di mana temanmu?" Dahayu mengulurkan salah satu serbet kain di nampannya untuk Javas, dan pemuda itu pergunakan untuk membersihkan mulut dan tangan.
"Terakhir aku tahu kabarnya, dia masih di Korea,” sindirnya lagi. Entah Dahayu sedang bermain-main dengannya, atau dia benar-benar lupa, sekarang lah saat yang tepat untuk mencari tahu.
Dahayu merobek salah satu ujung karton susu, lalu meneguk isinya. "Oh ya? Aku juga orang Korea. Siapa nama temanmu, kali aja aku kenal? Soalnya orang-orang Indonesia yang tinggal di sana biasanya cukup akrab satu sama lain." jawaban Dahayu makin menguatkan dugaan Javas bahwa Dahayu melupakannya, dan tiba-tiba saja kesedihannya berlipat ganda mengetahui hal tersebut. Javas tidak menjawab, ia sudah selesai makan dan rasanya ia sudah tidak lagi tertarik untuk mengobrol dengan Dahayu.
"Mengapa wajahmu muram begitu?" tanya Dahayu setelah menghabiskan minumannya. "Ada masalah di sekolah? Apa kamu sebenarnya korban perundungan di sekolah?"
"Tidak ada," Javas menggeleng. "Dan, tidak, ini bukan soal perisakan atau apa pun."
"Apa kamu kepikiran soal tugas Fisika tadi? Kita bisa kerjakan bersama kalau kamu mau."
Javas memutar mata. Tugas sekolah tak pernah menjadi beban pikirannya. Ia bahkan tak perlu bersusah payah untuk mencari jawaban, bahkan jika ia mengerjakan sambil setengah mengantuk pun, hasilnya akan tetap benar.
"Hari ini hari peringatan meninggalnya Papaku," desis Javas lirih. Ia embuskan napas berat, "Ini sudah tahun kelima, bukan sesuatu yang serius, kok. Hanya saja, luka kehilangannya masih belum sembuh benar, kurasa."
"Astaga," Dahayu mengusap tangannya dengan serbet makan, lalu menjulurkan lengan untuk menepuk-nepuk bahu Javas. "Aku turut berduka cita, semoga Tuhan melepaskan Papamu dari segala kesakitan dan penderitaan di dunia. Nggak apa-apa kalau kamu sedih, itu wajar dan normal banget, aku bisa mengerti. Maaf ya kalau aku nggak peka, aku kira ada apa-apa tadi."
Javas benar-benar menahan diri untuk tidak memutar mata mendengar doa Dahayu tadi. Bisa saja ia benar-benar tulus berdoa untuknya, dan rencana Javas untuk menjalin kembali persahabatan dengan Dahayu bisa jadi bubar jika ia membuatnya tersinggung.
"Jadi, sekarang kamu tinggal berdua saja dengan ibumu?"
Pertanyaan itu terdengar seperti déjà vu. Dahayu melupakannya. Dahayu melupakannya.
Denyut jantung Javas berdetak lebih kencang. Ada dua hal yang mengusik pikirannya, 1) Dahayu sepertinya tidak ingat lagi padanya karena mereka harus mengulang semua perkenalan sembilan tahun lalu dari awal, dan 2) selama ini ia tidak pernah memberitahu teman-teman sekolahnya di Indonesia bahwa dia punya 2 bapak. Lagipula, Papa sudah meninggal, jadi akan lebih mudah baginya untuk berbohong bahwa bapak dan ibunya bercerai, lalu ia tinggal berdua dengan bapaknya. Tetapi ada dorongan di dalam diri Javas yang membuatnya enggan mengulang kebohongan yang sama di hadapan Dahayu. Dahayu tidak menghakiminya karena memiliki dua orang ayah sembilan tahun lalu. Dahayu yang sekarang mungkin akan melontarkan doa lagi untuk almarhum papanya di alam kubur.
Javas memandang berkeliling untuk berjaga-jaga jika ada yang mendengarkan obrolan mereka, namun kantin ini terlalu bising untuk bisa menguping pembicaraan dua orang anak pindahan—di mana salah satunya anak yang terkenal sebagai pengidap antisosial akut, dan yang satu mungkin menarik untuk didekati karena cantik dan ramah, tetapi sebenarnya ia turun kelas dari status mahasiswi menjadi anak SMA. Tidak ada orang yang akan repot-repot mencuri dengar obrolan mereka, karena yang pertama kali terbersit pasti kesan membosankan.
"Aku nggak punya Ibu. Aku cuma punya Bapak dan Papa."
Mata indah Dahayu membulat, bibirnya membentuk huruf o kecil. Javas bertanya-tanya apa dulu ekspresi Dahayu kecil juga begini saat tahu tentang orang tuanya yang berbeda dari kebanyakan orang tua normal di Indonesia, atau beberapa negara lain. Beberapa detik kemudian Dahayu tersenyum. Sangat indah hingga Javas seolah melihat pancaran ketulusan di sana.
"Waaah, kok kelihatannya seru sih? Tiga orang cowok serumah. Siapa yang paling rajin bersih-bersih rumah di antara Bapak kamu dan Papa kamu? Kalian bertiga dulunya pasti seneng-seneng terus," ucapnya. "Punya dua Papa atau punya Papa dan Mama nggak pernah jadi masalah serius buatku, yang penting kasih sayangnya sama besar, ya 'kan, Javas?"
Javas mengangguk. Benar, 'kan, Dahayu masih jadi seseorang yang bisa Javas percaya bahkan setelah sembilan tahun berlalu. Makan siang mereka sudah tandas dan bel tanda masuk kelas akan berbunyi dalam beberapa menit lagi. Mereka berdua membereskan pembungkus makanan di meja, lalu memasukkan tempat sampah sesuai kategorinya: bahan plastik, pembungkus alumunium, karton dan sisa makanan organik, kemudian menyusun nampan kembali ke tempatnya, dan berjalan kembali ke kelas beriringan.
"Jadi, Javas, tidak susah 'kan, mencari teman? Buktinya kamu bisa akrab sama aku dengan cepat." Pandangan mereka berserobok, tinggi badan Dahayu yang hanya sepundak Javas membuatnya terlihat mungil ketika mereka bersebelahan begini. Masalahnya, ini Dahayu. Jika Javas merasa ia terlahir untuk jadi penyendiri, maka sudah di dalam darah Dahayu untuk menarik seseorang di luar pusaran pertemanan ke dalam lingkarannya. Dulu atau sekarang, Dahayu melakukannya lagi pada Javas.
Sebagai pilihan terakhir sebelum Javas benar-benar move on dari kenyataan bahwa ia dilupakan oleh seorang teman masa kecil yang dianggapnya penting, Javas melontarkan pertanyaan yang ditahannya sejak tadi.
"Hayu, aku mau tanya. Apa kamu pernah menggunakan situs Sahabat Pena ketika kecil dulu?"
Bel pertanda masuk kelas berbunyi. Dahayu mengerutkan alisnya, "Kamu ngomong apa? Sahabat apa? Apa itu?"
Dahayu juga melupakan tentang Sahabat Pena? Apakah ini mungkin?
Rasanya, Dahayu yang ada di hadapan Javas seperti program atau gawai yang baru saja di-reset ulang ke bawaan pabrik, seperti yang biasa bapak Javas lakukan saat sedang menguji kelayakan produk. Tetapi, tidak mungkin, 'kan? Dahayu seorang manusia. Javas yakin dia manusia, karena orang-orang Korea Selatan juga menggunakan sistem keamanan pemindai mata, dan para robot humanoid tidak akan lolos sensor tersebut.
Mungkin bagi Dahayu yang menghabiskan masa kecilnya dengan mengikuti sang ayah di kampus untuk melakukan penelitian, dan tinggal berpindah-pindah kota meski masih satu negara—Javas menambahkan satu fakta lagi yang diketahuinya tentang Dahayu—Sahabat Pena bukanlah situs yang berkesan pada masa kanak-kanaknya.
Javas menggeleng, "Nggak kok, bukan apa-apa."
"Jadi, kamu mau ikut kelompok belajar Fisika bareng-bareng? Kamu orang pertama yang aku ajak, lho, jadi tolong jangan ditolak, ya."
Apa Javas seperti punya pilihan? Tawaran tersebut terlalu menggoda untuk ditolak. Selama itu dengan Dahayu, Javas akan mengikutinya. Dan mungkin saja jika mereka berteman lebih akrab lagi dari sekarang, Javas bisa mengungkapkan misteri di balik temannya ini. "Oke, mulai kapan?"
"Minggu depan sepulang sekolah di rumahku. Jangan lupa, oke?"

Comments (0)
See all