Aku memanggil Rizal. Kali ini dengan semua bukti. Hari sudah menunjukkan pukul 17:32 WIB
Rizal sedang menyusun folder partitur. Pintu kubuka perlahan. Cahaya senja masuk dari celah kaca studio, menyoroti wajahnya yang agak pucat.
Detektif Doyle:
"Lagu Clair de Lune itu indah ya... apalagi versi Angga. Sayang, ada jejak jari lo di pedal kanannya."
Rizal terdiam. Tangannya berhenti merapikan kertas.
Doyle:
"Dan tali panjat di balkon kamar Angga, ternyata punya sidik lo juga. Lucu ya, karena cuma satu orang yang pernah latihan panjat indoor bareng Angga. Lo."
Rizal:
"Apa maksud lo... gue cuma bantu dia latian dulu, gak ada hubungannya..."
Doyle (menekan):
"Motion detector aktif jam 3.22. Angga tewas detik itu juga. Tapi... dia gak bunuh diri, dan gak bisa main piano dalam kondisi mayat. Lo masuk, lo atur semua, lo nyalain rekaman. Dan lo pikir kita gak bakal sadar."
Rizal (nada mulai tinggi):
"Dia yang mulai! Dia ancam bakal bocorin semua! Lagu itu bukan sekadar musik, dia masukin semua... semuaa!!"
Doyle (dingin):
"Rahasia apa? Tentang kontrak kalian? Tentang lo yang pakai namanya buat dapet royalti solo?"
Rizal (menyerah):
"Gue cuma pengen dia diem... satu lagu doang... satu lagu itu bisa bikin semua orang tau siapa gue sebenernya...!"
Hening.
Rizal terduduk. Akhirnya mengakui:
"Gue pikir kalau dia mati dengan lagu itu, orang bakal mikir dia bunuh diri... karena gak kuat. Bukan karena gue."
Doyle: "Lalu lo jadikan kematiannya sebagai komposisi penutup?"
Rizal: "Musik tak mati, Detektif. Tapi orang yang mengkhianatinya, layak pergi dalam senandung terakhir."
Comments (0)
See all