Langkah-langkah kaki kami menggema lembut di panggung kosong Ravenmoor Theatre. Para kru telah diinstruksikan untuk menjauh dari TKP, menyisakan hanya keheningan yang menempel di dinding-dinding kayu tua. Aroma debu panggung bercampur samar dengan wangi tinta dan kayu basah.
Aku berdiri di tengah panggung, menatap titik di mana Elijah ditemukan tergantung malam itu.
“Arthur,” panggilku pelan. “Sudah ada kabar dari lab forensik soal tinta dan sarung tangan itu?”
Arthur muncul dari balik kursi orkestra, membawa map laporan.
“Baru saja tiba,” katanya, membuka lembar pertama. “Dan ini… menarik.”
Ia menyerahkan padaku kertas hasil uji forensik. Di sana tertulis:
Tinta berbahan dasar charcoal-acid compound, buatan tangan. Hanya dua individu tercatat menggunakan formula ini: Elijah Vaskov dan Valentin Reikner.
Aku mengerutkan kening. “Valentin…?”
Arthur mengangguk. “Dan yang lebih menarik… sarung tangan hitam yang ditemukan di balik tirai kanan panggung—itu bukan milik Elijah. Ukurannya terlalu kecil.”
“Jadi seseorang memakainya untuk menulis kalimat di bawah naskah…”
“Ya. Dan dia lupa menghapus tinta dari ujung sarung tangannya. Kami temukan residu tinta segar di ujung jari telunjuk kanan.”
Aku melirik ke arah tempat penemuan pena bulu. “Sidik jari?”
Arthur membuka lembar lain. “Pena bulu yang ditemukan memiliki dua lapisan sidik jari. Sidik luar terlalu buram, tapi sidik terdalam cocok dengan… Adelaide Hesse.”
Aku menarik napas dalam. “Itu menjelaskan banyak. Tapi juga menambah pertanyaan.”
Kami diam sejenak. Lalu, seperti petir yang menyambar di langit Ravenmoor, Arthur menatapku.
“Doyle…” katanya pelan. “Bagaimana kalau kita berhenti mengejar jawaban…”
Aku menatapnya heran. “Maksudmu?”
“Bagaimana kalau kita membuat mereka yang memberikan jawabannya? Dengan tekanan. Dengan panggung.”
Aku menyipitkan mata. “Kau bicara tentang… jebakan?”
Arthur mengangguk. “Ya. Jebakan. Tapi bukan jebakan biasa. Jebakan mental. Tekanan yang hanya bisa dirasakan oleh pelaku sebenarnya. Kita ciptakan skenario yang membangkitkan ulang malam pembunuhan itu. Dan lihat siapa yang kehilangan kontrol.”
Aku terdiam. Pikiran itu perlahan-lahan menyatu dalam benakku.
Ravenmoor… sebuah teater… para tersangka adalah aktor sejati…
“Arthur,” gumamku. “Jika kita bisa memainkan lakon ini seperti layaknya Elijah…”
Arthur tersenyum tipis. “Maka pelaku akan menulis akhirnya sendiri.”
Kami berdiri diam sejenak di tengah panggung, bayangan Elijah seolah masih tergantung di atas kepala kami. Panggung ini belum selesai. Drama ini belum berakhir.
Ravenmoor, kota tua di Eropa bagian Timur yang memiliki gedung gedung tinggi menjulang bak gedung geudng gothic tahun 90an. Doyle Ford dan Arthur Ford (saudara sekaligus partner nya dalam menelesaikan kasus) berlibur kesana untuk menonton teater dari sang Aktor Terkenal -Elijah Vaskov. Namun, nampaknya kesenangan itu hanya bertahan sementara.
Sang Aktor ditemukan tewas saat drama terakhir dimainkan. Panggung yang penuh tepuk tangan itu perlahan mulai terdengar jeritan panik dna histeris. Semua penonton seketika amburadul. Doyle dan Ford seketika beranjak dari kursi penonton dan melakukan apa yang arus mereka lakukan, walaupun ini tidak ada dalam daftar kegiatan yang hendak mereka lakukan.
Comments (0)
See all