Malam menyelimuti Ravenmoor dengan kelembaban yang pekat. Hanya gemuruh halus mesin panggung dan bisikan kain tirai tua yang menemani kami malam itu. Panggung utama kosong, tapi jiwanya belum tenang.
Aku menatap kursi-kursi penonton yang kini gelap dan sepi. Bayangan semalam masih tergantung di udara—senyum Elijah, naskah terbuka, kata-kata terakhir yang tertulis rapi seperti bisikan dari akhir dunia.
Di belakang panggung, Arthur tengah berdiskusi serius dengan tim teknis.
"All triggers must be reset" ucapnya tegas. "I wanted the automated system of sound, light, and hangman's rope of the night to be reconstructed exactly as it was at 22:36 PM."
Seorang teknisi bertanya pelan, “Will there be performers on stage tonight”
Arthur tersenyum samar. “No, it doesn't. What will play is guilt.”
Sementara itu aku menuju ruang rias yang sempat ditutup. Di dalamnya masih tergantung cermin besar dengan tulisan merah yang telah dilapisi plastik bukti. Aku mendekat, dan mendapati sesuatu yang tidak kami sadari sebelumnya: bercak kecil tinta hitam di gagang kursi rias.
Aku segera memanggil Arthur. "Lihat ini. Tinta… di ruang rias. Sama seperti di sarung tangan yang kita temukan."
Arthur menunduk memeriksa. "Dan… posisinya tepat di depan laci tempat naskah Elijah biasa disimpan."
Ia melirikku. “Ada kemungkinan pelaku menulis pesan itu di panggung setelah menyiapkan naskah ini di ruang rias.”
Aku mengangguk pelan. "Dan itu berarti mereka sempat masuk ke ruang ini saat semua perhatian tertuju ke panggung."
Arthur berdiri tegak. Matanya menatapku penuh intensitas.
“Doyle… waktunya menekan balik. Kita nyalakan kembali panggung itu.”
Malam Jebakan
Kami meminta keempat tersangka hadir di panggung tengah, berdiri membentuk lingkaran kecil di sekitar tempat Elijah ditemukan.
Valentin, sang sutradara, berdiri dengan tangan disilangkan.
Adelaide Hesse menunduk gugup di balik kacamata bulatnya.
Elisa Dobrev duduk di tepi kursi sutradara—wajahnya kosong tapi bibirnya gemetar.
Andrei Vaskov hanya menatap naskah kakaknya yang kini ditaruh di podium kayu.
Satu per satu lampu sorot menyala—seperti malam pembunuhan.
File suara terputar dari sistem Adelaide.
Tirai bergeser otomatis.
Dan sistem tali gantung… terayun perlahan seperti mencemooh kenangan semalam.
Suara Elijah terdengar kembali melalui speaker panggung:
"If I cannot speak truth in life… let me scream it in my death."
Mereka terpaku.
Arthur berdiri di tengah panggung dan berkata, “We know the killer is here. But we won't point fingers... you will confess yourself. Because only the perpetrator... will know the details of that night's stage.”
Aku melangkah maju. “And only the perpetrator... who is now starting to sweat.”
Tiba-tiba, tangan Elisa mulai gemetar. Ia mencengkeram lengan kursi, mencoba tetap tenang.
Adelaide melangkah mundur… satu langkah… dua langkah… dan berdiri tepat di tempat aktivator sistem otomatis berada.
Mataku langsung terkunci padanya.
“Stop right there, Adelaide.”
Dia terhuyung. Nafasnya mulai tak teratur.
Arthur berbisik di sisiku. “Lihat tangannya… Doyle… dia pakai sarung tangan lagi. Ukuran kecil.”
Dan saat lampu sorot terakhir menyala—menyoroti tali gantungan yang kini kosong—Adelaide berkata dengan suara nyaris patah:
Ravenmoor, kota tua di Eropa bagian Timur yang memiliki gedung gedung tinggi menjulang bak gedung geudng gothic tahun 90an. Doyle Ford dan Arthur Ford (saudara sekaligus partner nya dalam menelesaikan kasus) berlibur kesana untuk menonton teater dari sang Aktor Terkenal -Elijah Vaskov. Namun, nampaknya kesenangan itu hanya bertahan sementara.
Sang Aktor ditemukan tewas saat drama terakhir dimainkan. Panggung yang penuh tepuk tangan itu perlahan mulai terdengar jeritan panik dna histeris. Semua penonton seketika amburadul. Doyle dan Ford seketika beranjak dari kursi penonton dan melakukan apa yang arus mereka lakukan, walaupun ini tidak ada dalam daftar kegiatan yang hendak mereka lakukan.
Comments (0)
See all