15 tahun berlalu, kini Adrian dan Adrianna tumbuh dewasa. Dewan pameran malam itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat. Kanvas demi kanvas tersusun rapi di dinding, mempamerkan hasil tangan Adrianna yang selama ini hanya menjadi rahsia kecil dalam hidupnya. Inilah malam pertamanya berdiri sebagai seorang pelukis — bukan sekadar anak kepada pemilik hotel ternama.

Tangan Adrianna bergetar sedikit ketika dia melangkah ke sisi salah satu lukisan yang paling dia sayang, potret langit senja dengan sapuan warna jingga dan ungu. Degup jantungnya terlalu laju, takut kalau impiannya hanya dipandang sebelah mata.

“Lukisan kau… masih sama. Penuh cahaya.”

Suara itu datang tiba-tiba. Dalam sekelip mata, Adrianna menoleh — dan nafasnya terhenti.

Seorang lelaki berdiri beberapa langkah darinya. Tinggi, tegap, wajahnya matang dengan rahang tegas. Sut hitam yang membalut tubuhnya jelas ditempah khas, setiap potongan sempurna. Tetapi yang paling membuatkan Adrianna terpaku adalah sepasang mata itu — mata yang pernah menemaninya bermain di halaman rumah waktu kecil dulu.

“Adrian…” namanya terlepas dari bibirnya perlahan, hampir seperti satu doa yang sudah lama disimpan.

Senyum nipis terukir di wajah Adrian. “Lama kita tak jumpa, Anna.”

Adrianna hanya mampu berdiri kaku. Rasa asing dan mesra bercampur baur. Sahabat kecilnya kini berdiri di hadapannya sebagai pewaris empayar jutaan, namun bagi hatinya, Adrian tetap lelaki yang pernah diam-diam memegang payung untuknya di tengah hujan bertahun-tahun lalu.