Pagi yang cerah di kota Mumbai, terlihat seorang wanita sibuk mempersiapkan sarapan di apartemen yang terbilang mewah. Ia menata makanan yang dihidangkan dengan begitu rapi. Beberapa lembar Naan, saus rempah dan susu hangat telah tersedia di atas meja.
Selesai menyiapkan sarapan, ia melangkah ke kamar lalu membangunkan putra semata wayangnya yang dua hari lagi genap berumur 5 tahun.
“Bangun, Sayang, sudah pagi. Air mandinya sudah Ibu siapkan,” ucapnya sambil mengelus rambut putranya.
Sebenarnya ia tidak tega membangunkan putranya yang sedang tidur nyenyak, tapi harus dilakukannya agar wanita itu tidak terlambat tiba di kantor pagi ini.
Perlahan mata kecil itu mulai terbuka, mata yang indah seperti mata ibunya. Meski anak laki-laki, ia begitu banyak mewarisi gen dari ibunya.
“Ibu...,” sapanya sambil tersenyum, lalu bangkit dan memberikan sebuah pelukan kepada ibunya.
Maya lalu membalas pelukan itu dan memberikan sebuah kecupan di kening putranya.
“Ayo bangun, Sayang. Nanti kita terlambat,” ujarnya lagi.
“Hmmm,” gumam putranya yang segera bersiap untuk mandi.
Setelah memandikan sang putra, Maya memanggil adiknya untuk sarapan.
“Janki, ayo sarapan!” panggilnya setengah berteriak.
Seorang gadis berusia 22 tahun segera berhamburan keluar dari kamarnya menuju meja makan. Segera dimasukkannya Naan ke dalam mulut dengan cepat, lalu minum susu yang telah disediakan oleh sang kakak.
Maya yang melihat tingkah adiknya hanya bisa tersenyum tipis dan menggelengkan kepala.
“Hati-hati, nanti kau bisa tersedak,” tegurnya sambil menyipitkan mata.
“Hahu hahus huhu-huhu kak phaghi hinhi hahu hahus hehada dih hemhat hinhehjiew hamh 8.00,” ucapnya tidak jelas.
Roti yang masih menghuni rongga mulut, segera ditelannya.
“Jika aku terlambat, bisa-bisa aku dieliminasi karena tidak disiplin,” lanjutnya.
Ponakannya hanya bisa membulatkan mata melihat tingkah tante yang masih seperti anak ABG meski sudah memasuki usia dewasa. Mereka bertiga sama-sama memiliki mata yang indah, cuma bedanya Janki memiliki kulit yang lebih terang dibanding kakak dan ponakannya.
Setelah selesai sarapan, gadis itu lalu pamit dan segera berlari menuju halte bus yang tidak jauh dari rumahnya.
Maya hanya bisa berdoa semoga adiknya bisa mendisiplinkan diri sebelum mendapatkan pekerjaan.
“Kamu lihat Raja?! Jangan tiru tantemu yang tidak disiplin. Jika kamu tidak belajar disiplin dari kecil, nanti kamu akan kewalahan seperti tantemu.”
Maya mengingatkan Raja agar menanamkan sifat disiplin sedari kecil.
Raja lalu mengangguk. Meski masih kecil, dia mempunyai pola pikir lebih dewasa dibandingkan anak seusianya. Dia juga tipe anak yang mandiri, semua dilakukan sendiri kecuali mandi yang masih dimandikan oleh ibunya.
Setelah sarapan, Maya bergegas mengantarkan putranya ke Sekolah Bermain. Dia harus meninggalkan putranya di sana, karena tidak ada yang menjaganya di rumah. Jika Janki pulang lebih dahulu ia akan menjemput Raja ke sana.
Maya segera memacu mobilnya menuju kantor, agar bisa tiba sebelum jam kerja dimulai.
“Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Mr. Khan pada Maya ketika ia tiba di kantor.
“Baik, Pak,” jawabnya singkat.
“Maya, dengar. Tidak baik untuk berpura-pura terlihat baik-baik saja, padahal kamu tidak dalam keadaan baik,” ucap Mr. Khan sambil berjalan ke ruangannya.
Dia lalu memberikan isyarat kepada Maya untuk duduk.
“Sampai kapan kamu akan berpura-pura seperti ini? Orang lain bisa kamu bohongi, tapi tidak denganku. Aku sudah mengenalmu selama sepuluh tahun, jadi aku sudah tahu kamu dengan baik.”
Mr. Khan memandang Maya dengan seksama. Dia sudah menganggap wanita itu sebagai putrinya, meski ia adalah karyawannya. Kesetiaan Maya bekerja di sana, membuat ia menyayanginya seperti anak sendiri.
Maya hanya bisa terdiam, ia memang tidak bisa mengelak dari bosnya. Sebaik apapun menutupi keadaan, Bosnya akan segera tahu.
“Lihatlah ini.”
Mr. Khan menyerahkan sebuah amplop berwarna putih berbentuk persegi panjang.
Maya segera membuka amplop itu dan melihat isinya. Dia lalu membaca sebuah kertas yang tertulis tiket pesawat dari Mumbai menuju Jakarta untuknya dan Raja. Wanita bermata indah itu mengerutkan keningnya, karena tidak mengerti.
“Pergilah ke Indonesia. Bawa juga putramu. Aku tidak sanggup melihatmu seperti itu. Aku harap dengan suasana berbeda bisa menenangkan pikiranmu,” jelas Mr. Khan.
“Oya, kamu ke sana bukan hanya liburan saja. Tapi ada pekerjaan juga yang harus kamu lakukan.” Ia menambahkan.
“Maksudnya, Pak?” tanya Maya ingin mendengar lebih jelas arahan dari bosnya. Dia memfokuskan pandangan ke arah Mr. Khan.
Mr. Khan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dan melipat tangan di depan dada.
“Aku mengirimmu sebagai perwakilan kantor majalah kita ke Indonesia selama tiga bulan. Di sana kamu harus melakukan perjalan wisata dan harus mengirimkan artikel-artikel setiap minggu untuk dimuat di kolom destinasi wisata Internasional di majalah. Indonesia terkenal sebagai negara dengan destinasi wisata terbanyak. Jadi aku harap dengan tugas ini, kamu juga bisa menenangkan pikiranmu. Anggap saja ini sebagai hadiah dariku atas pengabdianmu selama sepuluh tahun di sini,” papar Mr. Khan sambil tersenyum.
Maya membulatkan mata, kemudian mengukir seulas senyuman. Ini adalah kali pertama ia ditugaskan ke luar negeri dan dalam jangka waktu yang lama. Tentu dengan putra semata wayangnya.
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Janki, aku bisa mengawasinya,” lanjut Mr. Khan.
“Berarti saya harus berangkat seminggu lagi ya, Pak?” tanya Maya.
Mr. Khan mengangguk, “Aku pikir dalam waktu seminggu kamu bisa mempersiapkan segala keperluan yang akan kamu bawa. Di sana kamu akan ditemani oleh partner kita di Jakarta. Dia yang akan membantu sekaligus menjadi guide-mu selama tiga bulan. Dia juga seorang penulis, sama sepertimu.”
Maya menganggukkan kepala yakin. Mungkin inilah yang diperlukannya saat ini, pergi ke tempat yang asing baginya dalam waktu yang lama meski dalam tugas.
***
Sampai di rumah, Maya menceritakan semua kepada Janki dan Raja. Dia sebenarnya khawatir meninggalkan Janki sendirian di rumah untuk waktu yang lama. Tapi ia bisa tenang setelah Mr. Khan mengatakan akan mengirim pembantu untuk menemani dan mengawasi Janki.
“Kakak, jangan khawatirkan aku. Aku ini sudah besar dan bisa menjaga diriku sendiri,” ucap Janki semangat.
Ia tidak ingin kakaknya terus mengkhawatirkan dirinya.
“Nikmati saja perjalanan kakak dan Raja selama di sana. Semoga kakak bisa menemukan kebahagiaan yang lain di Indonesia.”
Maya tersenyum mendengarkan perkataan adiknya. Dia pun berharap begitu, bisa melupakan apa yang terjadi padanya selama beberapa tahun terakhir ini. Melupakan hari-hari terberat dalam hidupnya.
Wanita itu beranjak dari tempat duduk, kemudian membuat daftar barang yang akan dibawa ke Jakarta nanti. Tiga bulan bukanlah waktu yang singkat untuk bepergian ke luar negeri.
Ada sebuah rasa khawatir hinggap di hatinya, karena nanti akan memulai pekerjaan di tempat yang asing baginya dan bersama dengan orang asing. Namun biar bagaimanapun, ia harus bersikap profesional dan tidak bisa menolak pekerjaan itu. Toh ia juga bisa berliburan bersama buah hatinya dan bisa menenangkan pikiran sejenak.
Setelah menyelesaikan daftar barang yang akan dibawa, ia melangkah menuju tempat tidur untuk memanjakan tubuhnya yang lelah karena bekerja seharian. Beberapa kenangan pahit kembali hinggap di pikirannya, namun kemudian segera ditepis. Saat ini, ia sudah mengikhlaskan apa yang telah terjadi.
Bersambung...
Comments (0)
See all