Please note that Tapas no longer supports Internet Explorer.
We recommend upgrading to the latest Microsoft Edge, Google Chrome, or Firefox.
Home
Comics
Novels
Community
Mature
More
Help Discord Forums Newsfeed Contact Merch Shop
Publish
Home
Comics
Novels
Community
Mature
More
Help Discord Forums Newsfeed Contact Merch Shop
__anonymous__
__anonymous__
0
  • Publish
  • Ink shop
  • Redeem code
  • Settings
  • Log out

Takdir Yang Terukir

BAYANGAN PERANG

BAYANGAN PERANG

Dec 27, 2025

Aku berdiri di tepi bukit, memandang desa Arlith yang kini hanyalah tumpukan reruntuhan dan abu. Tempat yang dulu penuh kehidupan itu tak lagi sama—segalanya telah berubah.

Rerumputan hijau yang dulu menghampar sekarang tertutup oleh asap kelabu sisa-sisa pembantaian. Hanya butuh satu malam untuk menghancurkan segala yang aku cintai, dan malam itu telah merenggut keluargaku.

Beberapa tahun terakhir, perang besar pecah antara dua benua: Eldrin dan Therion, memperebutkan kekuasaan atas benua Arcavia. Awalnya, hanya pasukan dari Therion yang terlihat datang ke wilayah-wilayah Ordalis—negara kecil di Arcavia tempat desaku berada. Mereka memang kerap mengganggu, senantiasa meminta pangan, hewan ternak, atau tenaga.

Namun, beberapa hari yang lalu, pasukan dari Eldrin tiba, dan semuanya berubah menjadi mimpi buruk. Mereka tidak meminta apa-apa—mereka merampas, membakar, dan menghancurkan.

Kejadian itu masih terbayang jelas dalam ingatanku, bagaikan baru saja terjadi. Api berkobar, rumah-rumah hangus terbakar, dan suara jeritan mengisi malam yang dingin. Keluargaku… Mereka semua tak sempat melarikan diri. Tidak, mereka bahkan tidak berusaha untuk berlari.

Aku ingat saat itu, berteriak histeris, berusaha mengajak mereka keluar dari rumah yang sudah setengah terbakar. Ayah, Ibu, Paman, dan Kakakku. Tidak peduli sekeras apa aku berteriak, mereka hanya terdiam, ekspresi tenang di wajah mereka menandakan penyerahan. Tidak ada ketakutan sama sekali di mata mereka.

"Ini sudah ditakdirkan, Kelia," ucap Ibuku dengan tenang.

Mataku melirik ke arah api yang semakin mendekat, panasnya menjilat-jilat. "Tidak! Tidak bisa begini! Kita masih bisa hidup lebih lama lagi!" Aku terus menyangkal.

"Kelia… Terimalah apa yang sudah ditetapkan," ujar ibuku sambil menggenggam tanganku erat. Namun, saat api mulai menjalar ke dalam ruangan, aku meronta, menarik tanganku dari genggamannya. Dalam ketakutan yang menyelimuti, aku berlari keluar, menerobos lautan api. "Kelia! Kembali!" Seruan keluargaku semakin pudar saat aku menjauh, meninggalkan mereka di balik api yang menyala.

Habis sudah napasku ketika aku akhirnya menjatuhkan diri di bawah sebuah pohon besar. Dedaunan lebatnya menciptakan bayangan yang menyembunyikanku dari para prajurit. Dalam keheningan, air mataku jatuh. Aku meringkuk, mendengarkan jeritan dan ledakan yang samar di kejauhan. Menggigil, ketakutan.

Sudah tiga hari sejak malam penghancuran itu. Aku terus bersembunyi di dalam hutan, memakan apapun yang kutemui selama berkeliling. Hatiku terasa hampa, seolah-olah hidupku telah berakhir bersama keluargaku di malam itu.

Angin dingin berhembus lembut di tepi bukit tempatku berdiri. Aku melihat ke arah reruntuhan desa, lagi-lagi mengingatkanku pada kenangan-kenangan manis yang kini terasa pahit.

Aku teringat suara tawa lembut Ibu saat memasakkanku sup, sentuhan hangat tangan Ayah yang melindungiku saat berburu, cerita-cerita petualangan Kakak yang selalu membuatku terinspirasi, dan lelucon khas Paman yang selalu membuatku tertawa meskipun hari sedang sulit.

Semua lenyap begitu cepat, seakan tidak pernah berarti. Sungguh terasa seperti dunia ini telah mengkhianatiku.

Semasa kecil, Ayah dan Ibu sering menceritakan tentang Kuil Takdir—tempat di mana nasib keluarga kami terukir. Kuil Takdir tersebar di seluruh dunia, tetapi hanya berdiri di lima belas puncak gunung tertinggi.

Katanya, saat usiaku baru dua minggu, mereka menggendongku mendaki ke sana, menempatkan namaku pada batu yang sama seperti anggota keluarga sebelum kami. Setiap hari, ukiran baru muncul, menyematkan takdir bagi setiap nama bayi yang datang.

Untuk keluargaku, ukiran itu selalu sama: ‘Korban Perang.’

Namun, apakah benar itu takdir kami? Apakah kami mesti hidup selamanya dengan takdir itu?

Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi pikiranku, memaksa diri untuk terus memikirkan makna di balik penderitaan ini. Mengapa kami? Mengapa harus kami yang merasakan kehancuran ini?

Di satu sisi, aku ingin menemukan jawabannya, tetapi di sisi lain, aku merasakan ketakutan yang menghantui. Apakah aku bernasib sama? Apakah aku juga akan mati tak lama lagi?

Seketika, aku membayangkan diriku sebagai korban perang—tergeletak tak berdaya, seperti mereka yang di desa; mereka yang sudah tiada.

Aku mendongak ke langit kelabu, seakan mencari jawaban di balik awan yang bergerak lambat. Takdir, yang katanya adalah petunjuk jalan hidup, mengapa malah menjadi pengantar menuju penderitaan?

Dalam ketidakpastian yang menggulung hati, aku yakin akan  satu hal yang pasti: aku tidak ingin menyerah pada nasib yang mencekam ini—nasib yang sama sekali tidak memberiku harapan.

Bayangan desaku yang terbakar pun terus terlintas, mengobarkan api di dalam dada. Mungkin inilah pertama kalinya aku merasa benci pada dunia yang ternyata begitu mudah menghancurkan dan mengabaikan.

Harapan kecil mulai terbit ketika aku mengingat satu legenda yang pernah kudengar. Legenda Penjaga Kuil Takdir—sosok yang diyakini mengetahui setiap pahatan takdir di sana, sosok yang menjaga semua catatan kehidupan. Jika ada yang bisa memberiku jawaban, tentu hanya dirinya.

Namun, itu berarti aku harus pergi ke Kuil Takdir, tempat yang selama ini hanya kubayangkan lewat cerita. Aku mengetahui bahwa ada satu Kuil Takdir yang terletak di puncak Gunung Seropha—sebuah gunung di Ordalis utara yang menjulang tinggi hingga menembus awan, tak terlihat dari bawah.

Angin kembali berhembus kencang, seperti memperingatkanku akan bahaya yang akan menghadang dalam perjalanan menuju ke sana. Dalam hatiku, aku yakin bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan jawabanku. Aku yakin bahwa tidak ada lagi yang lebih berharga bagiku sekarang daripada kebenaran.

Walaupun takdirku memang telah terukir sebagai korban perang, aku akan mengukir ulang takdir itu dengan tanganku sendiri. Pokoknya, aku tidak ingin hanya berdiam diri dan menerima begitu saja.

Aku segera menuruni bukit, mengumpulkan segala hal yang kubutuhkan. Aku mengambil buah-buahan yang berhasil kukumpulkan selama bersembunyi, serta air segar dari sungai. Semua aku tata di dalam pundi selempangku yang kugantungkan melintang bahu, bersama sebuah peta dan beberapa koin emas yang kusimpan.

Aku kemudian berdiri kembali di tepi bukit, menatap desa Arlith untuk terakhir kalinya. Dalam hening, aku berjanji pada diriku sendiri, pada Ibu, pada Ayah, pada seluruh keluargaku—bahwa aku tidak akan berhenti sebelum aku menemukan jawaban, meski harus melakukan apapun. Dendam dan kesedihanku bercampur, menjelma menjadi api yang semakin membara dalam diriku.

Kini, dengan penuh tekad, meski masih dengan  ketakutan yang bersemayam, aku mengayunkan langkahku, meninggalkan desa Arlith.

Aku siap menghadapi takdirku—menentangnya, jika perlu.


༺ ꩜꩜꩜ ༻

shaziza
Shaz

Creator

Comments (0)

See all
Add a comment

Recommendation for you

  • What Makes a Monster

    Recommendation

    What Makes a Monster

    BL 75.4k likes

  • Invisible Boy

    Recommendation

    Invisible Boy

    LGBTQ+ 11.5k likes

  • Blood Moon

    Recommendation

    Blood Moon

    BL 47.6k likes

  • The Last Story

    Recommendation

    The Last Story

    GL 44 likes

  • Touch

    Recommendation

    Touch

    BL 15.5k likes

  • Secunda

    Recommendation

    Secunda

    Romance Fantasy 43.3k likes

  • feeling lucky

    Feeling lucky

    Random series you may like

Takdir Yang Terukir
Takdir Yang Terukir

51 views0 subscribers

Setelah kehilangan keluarganya dalam perang yang meluluhlantakkan desanya, Kelia menolak menyerah pada takdirnya sebagai "Korban Perang." Ia memulai perjalanan menuju Kuil Takdir, tempat nasib manusia konon terukir.

Dalam perjalanannya, Kelia bertemu Jareth, pemimpin perang dengan takdir sebagai "Penghancur Arcavia." Terikat oleh rasa ingin tahu, Kelia dan Jareth bersama-sama berusaha mengungkap kebenaran di balik takdir.
Subscribe

9 episodes

BAYANGAN PERANG

BAYANGAN PERANG

9 views 0 likes 0 comments


Style
More
Like
List
Comment

Prev
Next

Full
Exit
0
0
Prev
Next